Ramai di kalangan penganut agama Islam di zaman ini mencintai dan mengamalkan Sunnah Nabi saw. tanpa mengira tempat, suasana masyarakat dan zaman sesuatu syariat itu diturunkan. Banyak dari mereka jatuh pada kesalahan dalam memahami Sunnah Nabi saw kerana mereka menggunakan istilah Sunnah di luar tempatnya. Kesalahan itu juga berlaku kerana mereka kerap mencampur-aduk antara istilah sunnah versi ahli fikih dan ahli usul fikih.
Sunnah menurut ahli usul fiqh merupakan salah satu dasar dan dalil dalam pengambilan hukum syar'i. Sunnah memiliki kedudukan setelah Al-Quran dalam pengambilan hukum. Mereka (ahli fiqh) mendefinisikan sunnah dengan, " Sesuatu yang berasal dari Rasulullah saw. selain Al-Qur'an, baik berupa perbuatan, perkataan, atau pengakuan." [1]
Sedangkan menurut ahli fiqih. sunnah merupakan salah satu hukum syar'i yang berbeda dengan wajib, mubah, dan lain sebagainya. Sunnah menurut mereka adalah sebuah hukum yang diambil dari dalil: "Sesuatu yang diberi pahala jika dikerjakan, dan tidak berdosa bila ditinggalkan." Dengan demikian, sunnah di sini memiliki makna yang sama dengan kata mandub, mustahab, tathawwu', tha'at, nafl, qurbah, muraghghab fiih, dan fadhilah.
Sedangkan menurut ahli hadits, sunnah adalah: "Sesuatu yang dilakukan oleh Rasulullah saw. baik berupa perkataan, perbuatan, pengakuan, sifat penciptaan, atau sifat budi pekerti, sama juga sebelum atau sesudah menjadi Nabi."[2]
Ahli hadits memperluas pemahaman tentang sunnah, karena mereka tidak menggunakan sunnah hanya sebatas untuk mencari hukum syar'i. Akan tetapi, tujuan mereka adalah menerangkan bahwa Rasulullah saw. merupakan petunjuk bagi kita, seseorang yang telah dikabarkan oleh Allah sebagai suri teladan bagi kita. Untuk itu, mereka mentransfer segala sesuatu yang berhubungan dengan beliau, baik berupa perilaku, sifat penciptaan, perangai, kabar berita, perkataan, atau perbuatan, sama juga sesuatu itu akan digunakan untuk menetapkan hukum syar'i ataupun tidak. Berbeda dengan ahli ushul fikih, mereka hanya mencari sunnah yang bisa digunakan untuk menetapkan hukum syar'i.
Sementara ramai dikalangan orang awam meletakkan maksud dari sunnah versi ahli hadits yang mencakup segala macam sifat Nabi saw. termasuk di dalam cara berpakaian beliau, apa yang baginda saw makan dan sebagainya di tempat sunnah versi ahli fikih, yang bererti hukum istihbaab dan nadb. Kesimpulannya, karena ketidak-fakihan (ketidakpahaman) mengenai agama, mereka menjadikan adat istiadat atau kebiasaan yang dikatakan termasuk sunnah oleh kalangan ahli hadits dan ahli sejarah ke dalam kategori sunnah menurut ahli fikih yang bererti hukum syar'i. Ini jelas mencampur-adukkan dan mengacaukan pemahaman orang awam.
[1] Qadhi 'Adhduddin al-'Iji, Syarhku Mukhtashar 'Ibnil Haajib, 2/290
[2] Dr Muhammad al-Hifnawi, Diraasaat 'Ushuuliyyah Fis Sunnah an-Nabawiyyah hlm. 12
Dipetik dari buku karya Sheikh Ali Jum'ah berjudul Al Mutasyaddidun, manhajuhum wa munaqasyatu ahammi qadlayahum
No comments:
Post a Comment