Monday, 25 October 2021

Dalil dan Hujah yang membolehkan Tawassul

    


    Didalam karya tulisan Syeikh Dr. Ali Jum'ah rahimahullahu ta'ala berjudul Al Mutasyaddidun, manhajuhum wa munaqasyatu ahammi qadlayahum disebutkan tentang permasalahan tawasul ini sudah ada kata sepakat di antara para ulama fikih. Para Imam mazhab yang empat juga sepakat mengenai diperbolehkannya tawasul kepada Rasulullah saw. bahkan menganggapnya sebagai sunnah, dan tidak membedakan antara Rasulullah saw. masih hidup atau sudah meninggal.


    Tidak ada satu pun ulama yang menentang kesepakatan ini, sampai datang Ibnu Taimiyah yang kemudian membedakan hukum tawasul kepada Rasulullah saw. ketika beliau masih hidup dengan ketika beliau sudah meninggal. Akan tetapi, pendapat Ibnu Taimiyah ini ditolak oleh para ulama.


    Imam Taqiyuddin as-Subki dalam kitab Syifaa 'us Saqaam berkata, " Ketahuilah bahwa hukum bertawasul, meminta tolong , dan meminta syafa'at kepada Rasulullah saw. melalui Allah Ta'ala adalah boleh dan baik. Boleh dan kebaikan ini termasuk perkara yang telah diketahui secara pasti oleh setiap pemeluk agama ini. Perbuatan ini juga termasuk perbuatan para nabi, rasul, ulama salaf, orang-orang saleh, para ulama, dan kaum muslimin yang masih awam. Tidak ada satu pun yang mengingkarinya dari masa ke masa sampai datang Ibnu Taimiyah. Ia lalu berkata dengan ucapan yang membingungkan orang-orang yang akal dan agamanya masih lemah. Dan ia menciptakan sebuah pendapat baru yang sebelumnya tak pernah ada. " (1)


    Untuk itu, kami mengajak umat untuk berpegang teguh kepada pendapat yang telah disepakati oleh para imam yang memiliki kapasitas keilmuan.


    Berikut ini akan kami sebutkan beberapa dalil pendapat yang membolehkan tawasul dengan Rasulullah saw. baik dari Al-Quran, maupun as-sunnah.


a. Dalil-dalil dari Al- Qur'an

1.    Allah swt. berfirman dalam Surah al-Maa'idah :35


يٰأَيُّهَا الَّذينَ ءآمَنُوا اتَّقُوا اللهَ وَابتَغوا إِلَيهِ الوَسيلَةَ وَجٰهِدوا في سَبيلِهِ لَعَلَّكُم تُفلِحونَ


Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan carilah jalan (wasilah) yang mendekatkan diri kepada-Nya, dan berjihadlah pada jalan-Nya, supaya kamu mendapat keberuntungan. (al-Maa'idah: 35)


2.    Allah Ta'ala berfirman lagi dalam Surah al-Israa' ayat 57;


أُولٰئِكَ الَّذينَ يَدعونَ يَبتَغونَ إِلىٰ رَبِّهِمُ الوَسيلَةَ أَيُّهُم أَقرَبُ وَيَرجونَ رَحمَتَهُ وَيَخافونَ عَذابَهُ ۚ إِنَّ عَذابَ رَبِّكَ كانَ مَحذورًا 


Orang-orang yang mereka seru itu, mereka sendiri mencari jalan (wasilah) kepada Tuhan mereka siapa di antara mereka yang lebih dekat (kepada Allah) dan mengharapkan rahmat-Nya dan takut akan azab-Nya. Sesungguhnya azab Tuhanmu adalah suatu yang (harus) ditakuti. (al-Israa': 57)


3. Firman-Nya lagi dalam surah an-Nisaa' ayat 64;


وَما أَرسَلنا مِن رَّسولٍ إِلّا لِيُطاعَ بِإِذنِ اللهِ ۚ وَلَو أَنَّهُم إِذ ظَّلَموا أَنفُسَهُم جاءوكَ فَاستَغفَرُوا اللهَ وَاستَغفَرَ لَهُمُ الرَّسولُ لَوَجَدُوا اللهَ تَوّابًا رَّحيمًا


Dan kami tidak mengutus seseorang Rasul melainkan untuk ditaati dengan seizin Allah. Sesungguhnya bilamana mereka ketika menganiaya dirinya datang kepadamu, lalu memohon ampun kepada Allah, dan Rasul pun memohonkan ampun untuk mereka, tentulah mereka mendapati Allah Maha Penerima taubat lagi Maha Penyayang. (an-Nisaa': 64)


    Pada ayat pertama Allah Ta'ala memerintahkan kaum mukminin untuk mendekatkan diri kepada Allah dengan berbagai cara. Tawasul kepada Allah melalui Rasulullah saw. ketika berdoa termasuk bentuk pendekatan diri kepada-Nya. Tidak ada dalil yang mengkhususkan bentuk tertentu dari tawasul. Perintah yang datang untuk bertawasul mengandung makna yang umum bagi semua bentuk tawasul yang diredhai Allah. Doa adalah sebuah ibadah, dan akan dikabulkan selagi tidak meminta untuk memutuskan tali persaudaraan atau dosa, tidak mengandung lafaz-lafaz yang bertentangan dengan dasar-dasar akidah dan pokok ajaran Islam.


    Pada ayat kedua, Allah Ta'ala memuji kaum mukminin yang memenuhi panggilan Allah dan mahu mendekatkan diri mereka kepada-Nya melalui tawasul ketika berdoa. Adapun ayat ketiga ini berlaku secara umum  (mutlak), tidak ada sesuatu yang mengikatnya, baik dari nash maupun akal. Disini tidak ada sesuatu makna yang mengikatnya dengan masa hidup Rasulullah saw. di dunia. Karena itu akan tetap ada hingga hari kiamat. Di dalam Al-Quran, yang menjadi barometer hukum adalah umumnya lafaz, bukan berdasarkan khususnya sebab. Oleh kerana itu, barang siapa yang mengkhususkan ayat ini hanya ketika Rasulullah saw. masih hidup, maka wajib baginya untuk mendatangkan dalil yang menunjukkan hal itu. Keumuman (kemutlakan) makna suatu ayat tidak membutuhkan dalil, kerana 'keumuman' itu adalah asal. Sedangkan taqyid (mengikat ayat dengan keadaan tertentu) membutuhkan dalil yang menunjukkannya.


Dalil dari as-Sunnah

1. Dari Usman bin hanif, ia berkata, "Sesungguhnya ada seorang laki-laki buta pergi menemui Rasulullah saw. Ia lalu berkata, 'Berdoalah kepada Allah, agar Dia menyembuhkanku!' Beliau lantas bersabda, 'Jika kamu mahu, aku akan berdoa (untukmu). tapi jika kamu mau, kamu bisabersabar, maka itu lebih baik untukmu. ' Kemudian laki-laki itu menjawab, Berdoalah kepada Allah!' Beliau pun lalu memerintahkan laki-laki itu berwudhu dengan sempurna, lalu berdoa dengan doa ini:



Hadits ini adalah dalil disunahkannya berdoa seperti di atas, sebagaimana diajarkan Rasulullah saw. kepada salah satu sahabat beliau. Allah Ta'ala memperlihatkan mukjizat Rasulullah saw. dengan mengabulkan doa laki-laki itu saat dalam satu majelis. Untuk itu, apabila Rasulullah saw. telah mengajarkan bentuk doa tertentu kepada salah satu sahabat beliau, dan doa itu sampai kepada kita melalui sanad yang shahih, maka doa itu disunnahkan agar dibaca di setiap waktu sampai hari kiamat.

    Tidak ada dalil lain yang mengkhususkan doa ini, yang diistimewakan untuk sahabat yang mengalami kebutaan di atas. Begitu juga tidak ada dalil lain yang mengikat hadits ini hanya diterapkan ketika Rasulullah saw. masih hidup. Karena asal hukum dan syariat itu adalah diberlakukan secara mutlak dan umum, hingga ada dalil lain yang mengkhususkan atau mengikatnya.



                                                                Petikan dari Jami' at-Tirmidzi (Hadits Tawassul)


Sumber:

Al Mutasyaddidun, manhajuhum wa munaqasyatu ahammi qadlayahum (Dr Syeikh Ali Jum'ah)

No comments:

Post a Comment