Friday 22 January 2021

Perbezaan Manhaj Ahlu al-Sunnah Waljamaah dan Ahlul al-Hadits - Salafi (Siri 3)

 

وَأَنزَلنا إِلَيكَ الكِتٰبَ بِالحَقِّ مُصَدِّقًا لِمّا بَينَ يَدَيهِ مِنَ الكِتٰبِ وَمُهَيمِنًا عَلَيهِ ۖ فَاحكُم بَينَهُم بِما أَنزَلَ اللهُ ۖ وَلا تَتَّبِع أَهواءَهُم عَمّا جاءَكَ مِنَ الحَقِّ ۚ لِكُلٍّ جَعَلنا مِنكُم شِرعَةً وَمِنهاجًا ۚ وَلَو شاءَ اللهُ لَجَعَلَكُم أُمَّةً وٰحِدَةً وَلٰكِن لِّيَبلُوَكُم في ما ءآتٰكُم ۖ فَاستَبِقُوا الخَيرٰتِ ۚ إِلَى اللهِ مَرجِعُكُم جَميعًا فَيُنَبِّئُكُم بِما كُنتُم فيهِ تَختَلِفونَ

"Dan Kami telah turunkan kepadamu Kitab dengan membawa kebenaran, membenarkan apa yang sebelumnya, iaitu kitab-kitab (yang diturunkan sebelumnya) dan batu ujian terhadap kitab-kitab yang lain itu; maka putuskanlah perkara mereka menurut apa yang Allah turunkan dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu mereka dengan meninggalkan kebenaran yang telah datang kepadamu. Untuk tiap-tiap umat diantara kamu, Kami berikan aturan dan jalan yang terang. Sekiranya Allah menghendaki, niscaya kamu dijadikan-Nya satu umat (saja), tetapi Allah hendak menguji kamu terhadap pemberian-Nya kepadamu, maka berlumba-lumbalah berbuat kebajikan. Hanya kepada Allah-lah kembali kamu semuanya, lalu diberitahukan-Nya kepadamu apa yang telah kamu perselisihkan itu"

                                                                                                                    (Surah Al-Maidah: 48)

Pada penulisan kali ini, penulis akan lebih berhati-hati dan tidak akan menggunakan istilah atau gelaran yang berkonotasi negatif terhadap sesuatu manhaj, namun memilih untuk menggelar golongan yang dikenali sebagai wahhabi sebagai ahlul hadits ataupun salafi sebagai konotasi penghormatan kepada mereka yang memilih untuk berpegangan kepada manhaj tersebut.

Allah s.w.t berfirman dalam surah al-Maidah ayat 48, "Maka putuskanlah perkara mereka menurut apa yang Allah turunkan dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu mereka dengan meninggalkan kebenaran yang telah datang kepadamu". Kita sebagai umat Islam telah diberikan aturan dan jalan yang terang yakni petunjuk Al-Quran sebagai penyuluh dan hujah bagi kita untuk menyikapi sesuatu isu yang timbul. Walaupun berbeza pandangan dan manhaj, kita hendaklah tidak melampaui batas dalam menyoroti setiap apa sahaja pandangan dan hujah yang dianggap kukuh bagi manhaj atau ijtihad ulama-ulama kita.

Isu yang seringkali dibahaskan antara penganut Ahlu Sunnah dan Salafi biasanya berkisar mengenai perkara bida'ah, penafsiran ayat muhkamat/mutasyabihat mengenai sifat-sifat Allah S.W.T, dan amalan Tawassul. Pada hari ini, penulis ingin mengambil kesempatan untuk menjelaskan sedikit mengenai apa yang dinamakan Tawassul dan apakah tafsiran serta hujah yang digunakan ulama-ulama untuk membenarkan amalan ini ataupun menolaknya dengan alasan yang kukuh. 

Pada siri yang pertama, semasa menyoroti biografi hidup Syeikh Muhammad bin Abdul Wahhab beliau terkenal dengan membawa fahaman dan fatwa dari Imam Ibn Taymiyyah yang  melarang menziarahi atau memuliakan kubur para wali. Fatwa ini dipegang kukuh Syeikh Muhammad Ibn Abdul Wahhab dan telah dilaksanakan setelah beliau mendapat kuasa politiknya di Najd. Antara yang beliau laksanakan adalah:

1.Meratakan kubur milik Zayd ibn al-Khattab (sahabat Nabi S.A.W) yang diagungkan oleh penduduk tempatan.
2. Memotong beberapa batang Pokok yang dianggap suci oleh penduduk sekitar.

يٰأَيُّهَا الَّذينَ ءآمَنُوا اتَّقُوا اللهَ وَابتَغوا إِلَيهِ الوَسيلَةَ وَجٰهِدوا في سَبيلِهِ لَعَلَّكُم تُفلِحونَ

Dalam surah al-maidah ayat 35 Allah SWT berfirman" Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan bersungguh-sungguhlah mencari jalan yang mendekatkan diri kepada-Nya, dan berjihadlah pada jalan-Nya supaya kamu mendapat keberuntungan"

Menurut tafsir Mishbah karangan Dr Quraish Shihab, ayat ini menyentuh jiwa manusia dengan mengajaknya mendekat kepada Allah. Ajakan tersebut ditujukan kepada orang-orang yang walau memiliki secebis keimanan, sebagaimana difahami dari panggilan (يٰأَيُّهَا الَّذينَ ءآمَنُوا), walau hanya sekelumit iman, bertakwalah kepada Allah hindarilah siksa-Nya baik duniawi maupun ukhrawi dan bersungguh-sungguhlah mencari jalan dan cara yang dibenarkan-Nya yang mendekatkan diri kamu kepada redha-Nya, dan berjihadlah pada jalan-Nya, yakni kerahkanlah semua kemampuan kamu lahir dan batin untuk menegakkan nilai-nilai ajaran-Nya termasuk berjihad melawan hawa nafsu kamu supaya kamu mendapat keberuntungan, yakni memperoleh apa yang kamu harapkan baik keberuntungan duniawi maupun ukhrawi.

Kata (وَسيلَةَwasilah menurut Tafsir Mishbah mirip maknanya dengan (وصيللة) washilah, yakni sesuatu yang menyambung sesuatu dengan yang lain. Wasilah adalah sesuatu yang menyambung dan mendekatkan sesuatu dengan yang lain, atas dasar keinginan yang kuat untuk mendekat. Tentu saja banyak cara yang dapat digunakan untuk mendekatkan diri kepada redha Allah, namun kesemuanya haruslah dibenarkan oleh-Nya. Ini bermula dari rasa kebutuhan kepada-Nya. Demikian Ibn Abbas menafsirkan. Memang, jika seseorang merasakan kebutuhan kepada sesuatu, dia akan menempuh segala cara untuk meraih redha-Nya serta menyenangkannya. Demikian juga dengan Allah SWT.

Dalam satu hadits Qudsi yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari, Nabi saw bersabda: "Sesungguhnya Allah Yang Maha mulia lagi maha Agung berfirman: 'Barangsiapa yang memusuhi wali-Ku (orang yang dekat kepada-Ku) maka sesungguhnya Aku telah nyatakan perang baginya. Tidaklah seorang hamba-Ku mendekatkan diri kepada-Ku, dengan sesuatu yang lebih Aku senangi daripada melaksanakan apa yang Aku fardhukan atasnya. Dan tidak pula hamba-Ku senantiasa mendekatkan diri dengan melakukan amalan-amalan sunnah, sehingga Aku mencintainya. Bila Aku mencintainya, menjadilah Aku telinganya yang ia gunakan untuk mendengar, matanya yang ia gunakan untuk melihat, tangannya yang dengannya ia memukul, dan kakinya yang dengannya ia berjalan. Apabila ia bermohon kepada-Ku maka pasti Ku-kabulkan permohonannya, apabila ia meminta perlindungan-Ku maka pasti ia Ku-lindungi'."

Ayat ini dijadikan sementara ulama sebagai dalil yang membenarkan apa yang diistilahkan dengan Tawassul-yakni mendekatkan diri kepada Allah dengan menyebut Nabi saw dan para wali (orang-orang yang dekat kepada-Nya), yakni berdoa kepada Allah guna meraih harapan demi nabi dan atau para wali yang dicintai Allah swt. Sementara orang - tulis asy-Sya'rawi (Sheikh Mutawalli as-Sya'rawi, ulama Mesir meninggal 1998M) - mengkafirkan orang-orang yang bertawassul. Tentu saja, bila ia percaya bahawa sang wali memberinya apa yang tidak diizinkan Allah atau apa yang tidak wajar diperolehnya, maka hal ini terlarang. Tetapi, jika ia bermohon kepada Allah dengan didasari kecintaannya kepada siapa yang ia yakini lebih dekat kepada Allah daripada dirinya, maka ketika itu cintanyalah yang akan berperanan bermohon, dan dalam saat yang sama ia yakin tidak akan memperoleh dari Allah sesuatu yang tidak wajar diperolehnya.

Menurut Syeikh Mutawalli asy-Sya'rawi, sebuah hadis yang juga sering kali dijadikan oleh para ulama sebagai alasan pembenaran wasilah/tawassul ialah sebuah Hadis Sahih yang diriwayatkan oleh Imam Muslim, Abu Daud at-Tirmidzi dan an-Nasa'i bahwa 'Umar Ibn al-Khattab berkata: "Pada masa Nabi saw, jika kami kekeringan kerana hujan tak turun, kami bertawassul dengan (menyebut nama) Nabi kiranya hujan turun. Setelah nabi wafat kami bertawassul dengan menyebut nama al-'Abbas bapa saudara Nabi saw.

Imam al-Alusi termasuk ulama yang memperbolehkan tawassul. Setelah menjelaskan panjang lebar tentang wasilah dan tawassul, ulama ini berkesimpulan bahawa tidak mengapa berdoa kepada Allah dengan menyebut dan bertawassul atas nama Nabi saw, baik ketika beliau hidup maupun setelah wafat, dalam erti, yang bersangkutan berdoa kepada Allah demi kecintaan-Nya kepada Nabi Muhammad, kiranya Yang Maha Esa itu mengabulkan permohonan si pemohon.

Demikian lebih kurang pernyataan al-Alusi yang dikutip dan disetujui oleh mantan Mufti Mesir yang juga menjawat jawatan sebagai Syeikh (Pemimpin Tertinggi) al-Azhar, Muhammad Sayyid Thanthawi. Pada hemat penulis (Dr Quraish Shihab), ulama-ulama melarang bertawassul baik dengan nama Nabi saw, lebih-lebih dengan para wali (orang-orang yang dekat kepada Allah) kerana dikhuatiri hal tersebut tidak difahami oleh masyarakat awam yang sering kali atau boleh jadi menduga bahwa mereka itulah - baik yang telah wafat atau masih hidup - yang mengabulkan permohonan mereka, atau bahwa mereka mempunyai peranan yang mengurangi peranan Allah dalam pengabulan permohonan mereka, atau bahwa mereka dapat memperoleh sesuatu yang tidak wajar mereka peroleh. Keyakinan semacam ini jelas terlarang bahkan salah satu bentuk mempersekutukan Allah swt.

Wallahua'lam

Rujukan:
1.Tafsir Al-Mishbah Dr Quraish Shihab
2.https://celiktafsir.net

No comments:

Post a Comment