کلام توکوه اݢام إسلام

Tuesday, 18 March 2025

Merokok (sudut pandang agama Islam)

 


Dalam Islam, merokok adalah topik yang sering dibahas dari sudut pandang hukum syariah. Meskipun Al-Qur'an dan Hadits tidak secara eksplisit menyebutkan rokok, para ulama telah memberikan pendapat berdasarkan prinsip-prinsip umum dalam Islam. Berikut adalah beberapa poin penting terkait merokok dalam Islam:


1. **Bahaya Kesehatan**: Merokok diketahui menyebabkan berbagai penyakit serius seperti kanser, penyakit jantung, dan gangguan pernapasan. Islam sangat menekankan pentingnya menjaga kesehatan dan melarang segala sesuatu yang merusak tubuh. Allah SWT berfirman dalam Al-Qur'an:

   - **"Dan janganlah kamu menjatuhkan dirimu sendiri ke dalam kebinasaan."** (QS. Al-Baqarah: 195)

   - **"Dan janganlah kamu membunuh dirimu sendiri."** (QS. An-Nisa: 29)


2. **Pemborosan Harta**: Merokok dianggap sebagai pemborosan harta karena uang yang digunakan untuk membeli rokok bisa dialokasikan untuk hal-hal yang lebih bermanfaat. Allah SWT berfirman:

   - **"Sesungguhnya orang-orang yang boros adalah saudara-saudara setan."** (QS. Al-Isra: 27)


3. **Dampak Sosial**: Merokok tidak hanya merugikan diri sendiri tetapi juga orang lain melalui asap rokok (perokok pasif). Islam mengajarkan untuk tidak membahayakan orang lain, sebagaimana sabda Nabi Muhammad SAW:

   - **"Tidak boleh membahayakan diri sendiri dan tidak boleh membahayakan orang lain."** (HR. Ibnu Majah)


4. **Fatwa Ulama**: Mayoritas ulama kontemporer mengharamkan merokok karena alasan-alasan di atas. Beberapa organisasi keagamaan dan lembaga fatwa telah mengeluarkan fatwa yang menyatakan bahwa merokok adalah haram.


5. **Niat untuk Berhenti**: Bagi yang sudah terbiasa merokok, Islam mendorong untuk berusaha menghentikan kebiasaan tersebut. Nabi Muhammad SAW bersabda:

   - **"Barangsiapa meninggalkan sesuatu karena Allah, niscaya Allah akan menggantikannya dengan yang lebih baik."** (HR. Ahmad)


Kesimpulannya, merokok dianggap tidak sesuai dengan prinsip-prinsip Islam karena merusak kesehatan, membuang-buang harta, dan membahayakan orang lain. Oleh karena itu, umat Islam dianjurkan untuk menghindari kebiasaan merokok dan berusaha untuk berhenti jika sudah terlanjur melakukannya.

Sunday, 5 January 2025

Al-Wala’ wal Bara’ dalam Pemahaman Madkhali

 


Al-Wala’ wal Bara’ dalam Pemahaman Madkhali merujuk pada konsep loyalitas dan pemutusan hubungan yang diterapkan dalam kerangka akidah dan manhaj (metode) Salafiyah Madkhaliyah. Gerakan ini berasal dari pemikiran Rabi’ bin Hadi al-Madkhali, seorang ulama Salafi dari Arab Saudi yang dikenal karena pendekatannya yang ketat terhadap loyalitas kepada penguasa Muslim dan kritiknya terhadap kelompok Islamis lainnya.

Konsep Al-Wala’ wal Bara’ menjadi salah satu prinsip utama dalam memahami hubungan antara individu, masyarakat, dan penguasa dalam perspektif Madkhali, sering kali dengan fokus yang kuat pada ketaatan kepada penguasa dan penolakan terhadap kelompok yang dianggap menyimpang dari manhaj Salaf.


Pemahaman Al-Wala’ wal Bara’ dalam Madkhalisme


1. Al-Wala’ (Loyalitas)

Kepada Allah, Rasul-Nya, dan Sesama Muslim yang Mengikuti Salaf:

Loyalitas utama adalah kepada Allah, Rasul-Nya, dan orang-orang yang mengikuti ajaran Islam sebagaimana dipahami oleh generasi Salaf.

Kepada Penguasa Muslim yang Sah:

Dalam pemikiran Madkhali, wala’ kepada penguasa Muslim adalah kewajiban, bahkan jika penguasa tersebut memiliki kelemahan atau melakukan kesalahan. Ketaatan kepada penguasa dianggap sebagai bagian dari menjaga stabilitas umat Islam, selama tidak diperintahkan untuk melakukan maksiat.

 "Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nya), dan ulil amri di antara kamu..."

(QS. An-Nisa: 59)

2. Al-Bara’ (Berlepas Diri)

Dari Syirik, Bid‘ah, dan Kekufuran:

Madkhalisme menekankan bara’ dari segala bentuk syirik, kekufuran, dan bid‘ah, termasuk praktik atau kelompok yang menyimpang dari manhaj Salaf.


Dari Kelompok yang Menentang Penguasa:


Madkhalisme sangat keras dalam menerapkan bara’ terhadap kelompok yang dianggap memberontak atau mengkritik penguasa Muslim secara terbuka, seperti Ikhwanul Muslimin atau kelompok jihadis. Kritik terhadap penguasa dianggap sebagai bentuk pemberontakan yang melanggar prinsip Islam.


Ciri-Ciri Penerapan Al-Wala’ wal Bara’ dalam Madkhali


1. Loyalitas kepada Penguasa

Madkhali menekankan pentingnya menjaga stabilitas politik dengan menunjukkan loyalitas penuh kepada pemerintah Muslim, bahkan jika penguasa tersebut melakukan dosa atau kekeliruan. Mereka percaya bahwa kritik terbuka terhadap penguasa dapat menimbulkan fitnah (kekacauan) dan melemahkan umat Islam.

2. Penolakan terhadap Kelompok Islamis

Madkhali terkenal karena sikap kerasnya terhadap kelompok Islamis seperti Ikhwanul Muslimin, Hizbut Tahrir, dan kelompok jihadis lainnya. Mereka menganggap kelompok ini sebagai pelaku bid‘ah yang menyesatkan umat Islam.

Bara’ diterapkan dengan cara memutus hubungan, melabeli mereka sebagai "khawarij" (kelompok pemberontak), atau menyebut mereka sebagai ancaman bagi stabilitas umat.

3. Kesetiaan terhadap Manhaj Salaf

Al-Wala’ diberikan kepada ulama dan individu yang mengikuti manhaj Salaf secara ketat. Madkhalisme sering mengkritik bahkan sesama Salafi yang dianggap menyimpang dari jalan ini, seperti mereka yang mendukung aktivisme politik.

4. Penekanan pada Ketaatan Mutlak (tanpa Kritik Terbuka)

Dalam Madkhalisme, kritik terhadap penguasa Muslim dianggap sebagai bentuk pemberontakan yang dilarang. Kritik hanya diperbolehkan secara pribadi dan rahasia, bukan melalui media atau forum publik.



Kritik terhadap Pemahaman Madkhali tentang Al-Wala’ wal Bara’


1. Kecenderungan Mendukung Otoritarianisme

Sikap Madkhali yang memberikan ketaatan tanpa syarat kepada penguasa sering dikritik sebagai dukungan terhadap otoritarianisme, bahkan terhadap penguasa yang secara terang-terangan melanggar prinsip-prinsip Islam.

2. Fragmentasi Umat Islam

Pendekatan bara’ yang sangat eksklusif sering kali menyebabkan perpecahan di antara umat Islam, terutama karena Madkhali cenderung melabeli kelompok atau individu lain sebagai penyimpang atau pelaku bid‘ah.

3. Kritik terhadap Ketidakseimbangan dalam Al-Wala’ wal Bara’

Banyak yang menganggap bahwa Madkhalisme terlalu menekankan wala’ kepada penguasa tanpa memberikan perhatian yang cukup kepada prinsip-prinsip keadilan dan tanggung jawab penguasa dalam menerapkan syariat Islam.

4. Pandangan Ulama Lain

Beberapa ulama Salafi lainnya, seperti Syaikh Salman al-Awdah atau Syaikh Safar al-Hawali, mengkritik pendekatan Madkhali sebagai terlalu sempit dan tidak realistis, terutama dalam konteks modern yang memerlukan pendekatan dialogis dan kolaboratif.


Dampak Penerapan Al-Wala’ wal Bara’ oleh Madkhali


1. Hubungan dengan Pemerintah

Madkhali sering dianggap sebagai "pendukung pemerintah" karena pendekatannya yang mengutamakan stabilitas politik di atas kritik terhadap penguasa.

Di beberapa negara, pendekatan ini mendapat dukungan pemerintah karena dianggap dapat meredam gerakan oposisi Islamis.

2. Perpecahan dalam Salafisme

Madkhali sering berkonflik dengan kelompok Salafi lain, terutama yang terlibat dalam aktivisme politik atau yang mengkritik penguasa Muslim. Hal ini menyebabkan fragmentasi dalam gerakan Salafi global.

3. Reputasi Internasional

Pendekatan Madkhali sering dikritik di tingkat internasional sebagai bentuk konservatisme ekstrem, tetapi juga dianggap sebagai benteng melawan ekstremisme kekerasan karena menolak pemberontakan dan terorisme.


Kesimpulan


Al-Wala’ wal Bara’ dalam Madkhali merupakan konsep yang sangat berorientasi pada loyalitas terhadap penguasa Muslim dan penolakan terhadap segala bentuk penyimpangan, termasuk pemberontakan politik. Meskipun memiliki dasar dalam ajaran Islam, pendekatan ini sering dikritik sebagai terlalu eksklusif, konservatif, dan mendukung otoritarianisme.

Di sisi lain, Madkhali dianggap berhasil menjaga stabilitas politik dalam beberapa konteks, terutama dengan menolak ekstremisme kekerasan. Namun, penerapannya yang terlalu kaku sering kali menimbulkan perpecahan di kalangan umat Islam, sehingga memerlukan pemahaman yang lebih seimbang dan inklusif.

Pujian terhadap keabsahan kaedah periwayatan dalam Al-Qur'an oleh penulis Barat

Pujian terhadap riwayat dalam Al-Qur'an oleh penulis Barat telah berkembang seiring dengan peningkatan studi ilmiah mengenai teks Al-Qur'an dan pendekatan terhadap Islam dalam konteks akademik dan teologis. Beberapa sarjana Barat, terutama yang mendalami kajian sejarah, linguistik, dan perbandingan agama, memberikan penghargaan terhadap keunikan dan integritas teks Al-Qur'an dibandingkan dengan teks-teks agama lain, seperti Injil dan Taurat.


Berikut adalah beberapa aspek pujian terhadap riwayat dalam Al-Qur'an yang telah disampaikan oleh penulis dan sarjana Barat:


1. Keutuhan dan Konsistensi Teks Al-Qur'an


Keabadian Teks: Banyak sarjana Barat memuji keutuhan teks Al-Qur'an yang dianggap tidak berubah sejak pertama kali diturunkan lebih dari 1.400 tahun yang lalu. Al-Qur'an diyakini oleh umat Islam tetap terjaga dalam bentuk aslinya, dan ini telah menjadi pokok pembicaraan dalam studi perbandingan agama. Beberapa penulis, seperti Arthur Jeffery (ahli kajian Al-Qur'an), menekankan bahwa Al-Qur'an tidak mengalami perubahan atau distorsi, meskipun berbagai versi teks Injil dan Taurat menunjukkan adanya pengeditan atau modifikasi sepanjang sejarah.


Kesaksian Manuskrip: Penemuan berbagai manuskrip Al-Qur'an yang sangat tua, seperti Manuskrip Sana'a dan Manuskrip Topkapi, memberikan bukti kuat bahwa teks Al-Qur'an tetap konsisten dengan apa yang ada sekarang. Sejarah penyalinan Al-Qur'an, yang dilakukan dengan sangat hati-hati oleh para penghafal dan penyalin, sering dipuji oleh penulis Barat sebagai bukti dari integritas dan perhatian tinggi terhadap akurasi teks.


2. Pengaruh Linguistik Al-Qur'an


Bahasa Arab Qur'an yang Unik: Penulis Barat yang mempelajari bahasa Arab sering mengagumi keindahan dan kekuatan bahasa Al-Qur'an. Mereka memuji struktur linguistik dan gaya sastra dalam Al-Qur'an yang dianggap sangat kompleks dan mendalam. Misalnya, ahli bahasa seperti Richard Bell dan Muhammad Asad mengakui bahwa meskipun Al-Qur'an ditulis dalam bahasa Arab, keindahan dan kedalaman maknanya mampu menyentuh banyak lapisan manusiawi dan intelektual, yang sulit ditemukan dalam teks agama lain.


Keajaiban Sastra: Banyak sarjana memuji keajaiban sastra Qur'an, yang mengandung berbagai bentuk gaya bahasa, seperti metafora, simile, analogi, dan struktur paralel. Franz Rosenthal, seorang pakar dalam studi Al-Qur'an, menyatakan bahwa Al-Qur'an tidak hanya sebagai kitab wahyu, tetapi juga karya sastra yang luar biasa, yang memiliki kekuatan pengaruh pada pembacanya, bahkan dalam dunia sastra modern.


3. Keberagaman dan Keutuhan Riwayat


Konsistensi Riwayat: Salah satu aspek yang dipuji adalah konsistensi riwayat dan narasi dalam Al-Qur'an, meskipun ada berbagai cerita yang mirip dengan cerita dalam teks-teks agama lain. Para penulis Barat sering memuji bagaimana Al-Qur'an menyajikan riwayat para nabi dan peristiwa-peristiwa sejarah secara konsisten dan bebas dari kontradiksi internal yang sering ditemukan dalam teks-teks lain. Sebagai contoh, kisah-kisah tentang Nabi Musa, Nabi Ibrahim, dan Nabi Isa dalam Al-Qur'an dianggap lebih jelas dan koheren dibandingkan dengan narasi yang ada dalam Alkitab.


Pengulangan sebagai Penekanan: Para sarjana juga mencatat bahwa pengulangan riwayat dalam Al-Qur'an sering kali digunakan untuk menekankan pesan moral dan spiritual yang penting, yang juga menunjukkan kesadaran pembuat teks akan pentingnya pengulangan untuk memperkuat pemahaman umat. Beberapa sarjana menyarankan bahwa pengulangan ini tidak hanya berfungsi sebagai cara untuk mengingatkan umat, tetapi juga untuk menegaskan konsistensi wahyu Tuhan yang tidak berubah.

4. Perlindungan Wahyu oleh Allah


Keyakinan terhadap Pemeliharaan Teks: Banyak sarjana Barat yang terkesan dengan keyakinan dalam Islam bahwa Allah menjaga Al-Qur'an dari perubahan atau penyimpangan. John Wansbrough dan Michael Cook dalam kajian mereka tentang sejarah Al-Qur'an mencatat bahwa pengajaran Islam tentang pemeliharaan wahyu sangat berbeda dari konsep dalam agama-agama lain, yang mana teks kitab-kitab mereka mengalami perubahan dan pengeditan seiring waktu. Dalam pandangan Islam, Al-Qur'an adalah kitab yang terpelihara dengan baik dan tetap murni seperti wahyu pertama yang diterima oleh Nabi Muhammad.


5. Kepemimpinan dalam Sains dan Pengetahuan


Kaitan Al-Qur'an dengan Sains: Beberapa penulis Barat mengakui bahwa Al-Qur'an memiliki pandangan tentang alam semesta dan penciptaan yang lebih canggih dan maju pada zamannya, terutama terkait dengan sains dan kosmologi. Misalnya, penemuan ilmiah modern mengenai perkembangan embrio manusia, struktur alam semesta, dan sistem tata surya sering dikaitkan dengan ayat-ayat dalam Al-Qur'an yang mendahului pemahaman ilmiah Barat pada waktu itu. Beberapa sarjana melihat ini sebagai indikasi bahwa Al-Qur'an mengandung wahyu yang lebih mendalam daripada yang dipahami pada masa itu.


6. Kritik dan Pujian dalam Konteks Sejarah


Sikap Terhadap Kitab Lain: Sarjana Barat yang terlibat dalam kajian perbandingan agama sering menyoroti pendekatan Al-Qur'an terhadap kitab-kitab sebelumnya. Dalam banyak kasus, Al-Qur'an mengakui wahyu yang telah diberikan sebelumnya kepada umat manusia, tetapi mengkritik distorsi yang terjadi pada teks-teks tersebut. Sebagai contoh, Al-Qur'an menyatakan bahwa Injil dan Taurat adalah kitab-kitab wahyu, namun umat Islam percaya bahwa kedua kitab tersebut telah mengalami perubahan seiring berjalannya waktu, sesuatu yang lebih sering dipertanyakan oleh penulis Barat yang menganggap klaim ini sebagai penilaian teologis.


Kesimpulan


Pujian terhadap riwayat dalam Al-Qur'an oleh penulis Barat cenderung menekankan beberapa aspek penting, seperti keutuhan teks, konsistensi narasi, kecanggihan bahasa, serta pengakuan terhadap keberagaman riwayat dan keterkaitannya dengan sains. Meskipun terdapat kritikan terhadap pemahaman Islam mengenai teks-teks agama sebelumnya, banyak sarjana Barat yang mengakui bahwa Al-Qur'an menyajikan wahyu yang konsisten dan terpelihara dengan baik. Ini menjadikan Al-Qur'an sebagai teks yang patut dihormati dan dipelajari dari berbagai sudut pandang, baik dalam konteks sejarah, linguistik, maupun filsafat agama.

Keabsahan riwayat dalam Alkitab (Bible)

 Keabsahan riwayat dalam Alkitab (Bible) adalah topik yang kompleks yang melibatkan berbagai aspek, mulai dari sumber-sumber teks yang mendasarinya, proses penyusunannya, hingga bagaimana riwayat atau kisah-kisah dalam Alkitab dipahami dan diterima oleh umat Kristen. Terdapat beberapa kritik dan pertanyaan yang sering diajukan terkait dengan keabsahan riwayat dalam Alkitab, baik dari perspektif historis, teologis, maupun kritis.


Berikut adalah beberapa hal yang perlu dipertimbangkan mengenai keabsahan riwayat dalam Alkitab:



---


1. Sumber dan Penyusunan Teks


Penulis dan Waktu Penulisan: Alkitab terdiri dari dua bagian utama, yaitu Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru. Perjanjian Lama (atau Tanakh dalam tradisi Yahudi) berisi kitab-kitab yang ditulis antara abad ke-15 hingga ke-5 SM, sedangkan Perjanjian Baru terdiri dari kitab-kitab yang ditulis antara abad pertama hingga kedua Masehi, setelah kematian Yesus. Para penulis Alkitab biasanya berasal dari latar belakang yang berbeda dan menulis dalam konteks sosial, budaya, dan sejarah yang beragam.


Proses Penyusunan: Teks-teks Alkitab tidak disusun sekaligus atau pada waktu yang sama. Banyak dari kitab-kitab ini dikumpulkan, disalin, dan diedit selama berabad-abad. Proses ini terjadi dalam konteks yang sangat manusiawi, di mana para penulis atau pengumpul teks berusaha untuk menangkap wahyu yang mereka yakini berasal dari Tuhan. Namun, karena penulisannya berlangsung selama berabad-abad, ini membuka kemungkinan untuk adanya perbedaan dan variasi dalam riwayat atau cerita yang tercatat.




---


2. Kritik Sejarah dan Kritik Teks


Kritik Sejarah: Sebagian kritik terhadap riwayat dalam Alkitab berfokus pada perbandingan antara kisah-kisah yang tercatat dalam Alkitab dengan bukti sejarah dan arkeologis. Beberapa peristiwa yang tercatat dalam Alkitab, seperti keajaiban-keajaiban yang dilakukan oleh Yesus atau peristiwa-peristiwa besar dalam sejarah Israel, tidak selalu didukung oleh bukti luar yang dapat diverifikasi. Hal ini menjadi titik kritik bagi mereka yang menganggap riwayat dalam Alkitab sebagai mitos atau cerita yang tidak dapat dibuktikan secara historis.


Kritik Teks: Salah satu kritik terbesar terhadap riwayat dalam Alkitab adalah adanya variasi teks dalam berbagai manuskrip kuno. Teks Alkitab yang ada sekarang berasal dari berbagai salinan yang ditulis dengan tangan dan diterjemahkan ke dalam berbagai bahasa. Oleh karena itu, ada perbedaan dalam teks antara satu manuskrip dengan manuskrip lainnya. Variasi ini dapat mencakup perbedaan dalam kata-kata, kalimat, atau bahkan dalam pengaturan cerita. Meskipun sebagian besar variasi ini tidak memengaruhi doktrin Kristen utama, beberapa kritikus berpendapat bahwa perbedaan ini menunjukkan bahwa riwayat yang ada mungkin telah terdistorsi selama proses penyalinan.




---


3. Sumber Lisan dan Tradisi


Sumber Lisan: Banyak bagian dalam Alkitab, terutama dalam Injil Perjanjian Baru, didasarkan pada tradisi lisan. Sebelum ditulis, banyak kisah tentang Yesus dan ajarannya diceritakan secara lisan dari mulut ke mulut. Proses ini tentu membuka peluang untuk perubahan atau penyimpangan dalam riwayat. Sebagai contoh, meskipun Injil memiliki kesamaan yang signifikan, ada perbedaan dalam cara mereka menceritakan peristiwa-peristiwa tertentu dalam kehidupan Yesus.


Pengaruh Tradisi Gereja: Selain itu, proses pengumpulan dan penyusunan Injil juga dipengaruhi oleh tradisi gereja yang sedang berkembang. Doktrin-doktrin yang berkembang dalam gereja awal dapat memengaruhi bagaimana peristiwa-peristiwa tertentu dicatat dan dijelaskan. Beberapa kritik berpendapat bahwa riwayat dalam Injil mencerminkan interpretasi gereja terhadap ajaran Yesus, yang mungkin telah mengalami perubahan atau penyesuaian dengan doktrin teologis yang ada pada saat itu.




---


4. Perbandingan antara Injil-Injil


Perbedaan dalam Riwayat: Salah satu hal yang sering dikritik dalam hal keabsahan riwayat adalah adanya perbedaan antara Injil-Injil yang ada dalam Perjanjian Baru. Misalnya, ada perbedaan dalam urutan peristiwa, penggambaran karakter Yesus, dan bahkan kata-kata yang diucapkan oleh Yesus. Injil Markus, Matius, Lukas, dan Yohanes seringkali menggambarkan kejadian yang sama dengan cara yang sedikit berbeda, yang dapat membingungkan mereka yang mencoba untuk memahami riwayat yang konsisten.


Konsensus dalam Keempat Injil: Meskipun ada perbedaan ini, para sarjana menyatakan bahwa banyak inti ajaran Yesus yang tetap konsisten di antara keempat Injil. Hal ini menunjukkan bahwa meskipun terdapat variasi dalam pengisahan peristiwa-peristiwa tertentu, inti dari ajaran dan hidup Yesus tetap dipertahankan dalam tradisi Injil.




---


5. Peran Doktrin dalam Penyampaian Riwayat


Ajaran Gereja dan Pengaruhnya pada Teks: Beberapa kritikus berpendapat bahwa riwayat dalam Alkitab tidak hanya dipengaruhi oleh kejadian-kejadian yang terjadi pada zaman Yesus, tetapi juga oleh ajaran gereja yang berkembang setelahnya. Misalnya, pemahaman tentang ketuhanan Yesus yang dikembangkan oleh gereja dalam konsili-konsili tertentu dapat memengaruhi cara-cara penggambaran Yesus dalam Injil.


Doktrin Penebusan: Beberapa elemen dalam riwayat Alkitab, seperti penyaliban dan kebangkitan Yesus, sangat ditekankan dalam ajaran Kristen sebagai inti dari keselamatan umat manusia. Riwayat ini dipandang oleh umat Kristen sebagai bagian dari wahyu ilahi yang menyelamatkan, meskipun ada kritik yang melihatnya sebagai pengaruh dari ajaran gereja dan bukan hanya riwayat sejarah.




---


Kesimpulan


Kritik terhadap keabsahan riwayat dalam Alkitab sering berfokus pada beberapa aspek, seperti proses penyusunan teks, variansi manuskrip, pengaruh tradisi lisan, dan perbedaan antara Injil-Injil. Meskipun ada perbedaan dan kritik-kritik terhadap riwayat tersebut, banyak umat Kristen yang tetap meyakini bahwa Alkitab adalah wahyu Tuhan yang otoritatif dan benar. Mereka berpendapat bahwa meskipun ada variasi dalam pengisahan peristiwa, inti ajaran dan pesan keselamatan yang terkandung dalam Alkitab tetap konsisten dan tidak terdistorsi secara signifikan.


Namun, dari perspektif historis dan kritis, beberapa sarjana berpendapat bahwa riwayat dalam Alkitab harus dipahami dengan konteks manusiawi yang mencakup penulisan, penyebaran, dan pengumpulan teks selama berabad-abad.


Rukyatullah dalam Mazhab Akidah Islam

 Rukyatullah (melihat Allah) adalah salah satu isu penting dalam teologi Islam yang membahas apakah Allah dapat dilihat oleh manusia, terutama di akhirat. Pendapat tentang rukyatullah beragam di antara berbagai mazhab akidah, tergantung pada metode interpretasi mereka terhadap Al-Qur'an dan Sunnah. Berikut adalah pandangan dari beberapa mazhab akidah terkait rukyatullah:



---


1. Ahlus Sunnah wal Jamaah (Asy’ariyah dan Maturidiyah)


Pandangan:


Asy’ariyah:


Meyakini bahwa Allah dapat dilihat oleh orang-orang mukmin di akhirat, khususnya di surga, tetapi tanpa bentuk, batas, atau arah.


Mereka berpegang pada ayat seperti:


> "Wajah-wajah (orang mukmin) pada hari itu berseri-seri, melihat kepada Tuhannya." (QS. Al-Qiyamah: 22-23)




Penekanan: Rukyatullah adalah hakikat yang terjadi, tetapi tanpa menyerupai cara pandang makhluk terhadap benda (tidak ada antropomorfisme).



Maturidiyah:


Pandangan serupa dengan Asy’ariyah, bahwa Allah dapat dilihat oleh mukmin di akhirat.


Mereka juga menekankan bahwa rukyatullah adalah tanpa dimensi fisik atau arah, dan hanya terjadi jika Allah menghendakinya.




Kesimpulan:

Asy’ariyah dan Maturidiyah sepakat bahwa rukyatullah adalah suatu hakikat, tetapi cara melihatnya tidak dapat dijelaskan dengan kemampuan akal manusia.



---


2. Mu’tazilah


Pandangan:


Mu’tazilah menolak konsep rukyatullah, baik di dunia maupun di akhirat.


Mereka berpendapat bahwa melihat Allah berarti memberi Allah bentuk, tempat, atau arah, yang dianggap bertentangan dengan prinsip tanzih (penyucian Allah dari sifat-sifat makhluk).


Mereka memahami ayat seperti QS. Al-Qiyamah: 22-23 secara metaforis. Menurut mereka, ayat tersebut menunjukkan keridhaan Allah, bukan penglihatan literal.



Kesimpulan:

Mu’tazilah menafikan rukyatullah secara mutlak karena menganggapnya bertentangan dengan tauhid yang murni.



---


3. Jahmiyah


Pandangan:


Jahmiyah, seperti Mu’tazilah, menolak rukyatullah.


Mereka berpendapat bahwa Allah tidak dapat dilihat karena Dia tidak memiliki sifat-sifat yang menyerupai makhluk, termasuk tidak dapat dilihat secara fisik.



Kesimpulan:

Jahmiyah memiliki posisi yang mirip dengan Mu’tazilah dalam menafikan rukyatullah.



---


4. Syiah Imamiyah


Pandangan:


Dalam teologi Syiah Imamiyah, rukyatullah ditolak. Mereka menegaskan bahwa Allah tidak dapat dilihat dengan mata fisik, baik di dunia maupun di akhirat.


Mereka berpegang pada ayat seperti:


> "Dia tidak dapat dicapai oleh penglihatan mata..." (QS. Al-An’am: 103)




Namun, Syiah Imamiyah mengakui bahwa Allah dapat "dikenali" melalui hati dan jiwa dalam arti kedekatan spiritual, bukan secara visual.



Kesimpulan:

Syiah Imamiyah menolak rukyatullah secara fisik, tetapi menekankan pada makna spiritual.



---


5. Salafiyah


Pandangan:


Salafiyah (termasuk Hanabilah) sepakat dengan Ahlus Sunnah bahwa Allah dapat dilihat oleh mukmin di akhirat.


Namun, mereka lebih cenderung pada pendekatan literal tanpa melakukan ta’wil (penafsiran metaforis) atau tafwidh (menyerahkan makna sepenuhnya kepada Allah).


Mereka menekankan bahwa Allah dapat dilihat tanpa menyerupai cara pandang makhluk.



Kesimpulan:

Salafiyah menerima rukyatullah di akhirat, dengan pendekatan literal yang menghindari interpretasi metaforis.



---


6. Filsafat Islam


Pandangan:


Dalam tradisi filsafat Islam (seperti pandangan Ibnu Sina dan Al-Farabi), rukyatullah sering diartikan secara metaforis.


Mereka menekankan bahwa "melihat Allah" adalah pengalaman intelektual dan spiritual yang melibatkan ma'rifah (pengenalan) Allah, bukan penglihatan fisik.



Kesimpulan:

Rukyatullah dipahami sebagai pengalaman intelektual atau spiritual, bukan literal.



---


Tabel Perbandingan



---


Kesimpulan


Rukyatullah adalah isu yang dipahami secara berbeda oleh berbagai mazhab. Ahlus Sunnah wal Jamaah (Asy’ariyah, Maturidiyah, dan Salafiyah) menerima konsep bahwa Allah dapat dilihat oleh mukmin di akhirat, dengan pemahaman bahwa cara melihat-Nya melampaui akal manusia. Sebaliknya, Mu’tazilah, Jahmiyah, dan Syiah Imamiyah menolak konsep rukyatullah secara fisik, tetapi menekankan aspek spiritual dan metaforis.


Qudrah Allah dalam Asya'irah dan Maturidiah

 Konsep qudrah Allah (kekuasaan Allah) merupakan salah satu bahasan penting dalam teologi Islam, termasuk dalam mazhab Asy’ariyah dan Maturidiyah. Keduanya sepakat bahwa Allah memiliki kekuasaan mutlak dan tak terbatas, tetapi ada perbedaan dalam cara memahami implikasi kekuasaan tersebut terhadap ciptaan dan perbuatan manusia. Berikut adalah perbandingan pandangan Asy’ariyah dan Maturidiyah terkait qudrah Allah:



---


1. Kekuasaan Allah atas Segala Sesuatu


Asy’ariyah:


Menegaskan bahwa qudrah Allah meliputi segala sesuatu secara mutlak.


Semua perbuatan manusia, baik dan buruk, diciptakan oleh Allah. Manusia hanya memiliki kemampuan untuk "mengusahakan" (kasb), tetapi tidak memiliki kekuasaan penciptaan.


Allah dapat melakukan apa pun yang dikehendaki-Nya, bahkan hal-hal yang menurut akal manusia tidak masuk akal (seperti menciptakan sesuatu tanpa sebab).


Contoh: Allah dapat menghukum orang yang taat atau memberikan pahala kepada orang yang berdosa jika Dia menghendaki, karena qudrah Allah tidak terikat oleh keadilan manusia.




Maturidiyah:


Juga meyakini bahwa qudrah Allah mencakup segala sesuatu, tetapi lebih menekankan bahwa kekuasaan Allah tidak akan bertentangan dengan hikmah (kebijaksanaan) dan keadilan-Nya.


Allah tetap menciptakan perbuatan manusia, tetapi manusia diberi kebebasan kehendak (ikhtiyar) dalam batas yang ditentukan oleh Allah.


Allah tidak melakukan sesuatu yang secara hakikat bertentangan dengan keadilan atau kebijaksanaan-Nya, meskipun Dia memiliki kekuasaan untuk melakukannya.




---


2. Hubungan Qudrah Allah dengan Perbuatan Manusia


Asy’ariyah:


Manusia tidak memiliki kekuasaan yang mandiri. Semua perbuatan manusia, termasuk pilihan dan kehendak mereka, diciptakan oleh Allah.


Manusia hanya memiliki kasb (usaha), yaitu keterlibatan secara simbolis dalam perbuatan mereka. Namun, perbuatan itu sepenuhnya terjadi karena qudrah Allah.


Contoh: Ketika seseorang memilih untuk berbuat baik, pilihan itu merupakan bagian dari kasb-nya, tetapi tindakan nyata terjadi karena kekuasaan Allah.




Maturidiyah:


Mengakui bahwa Allah adalah pencipta segala sesuatu, termasuk perbuatan manusia, tetapi manusia memiliki ikhtiyar (kehendak bebas).


Perbuatan manusia terjadi karena manusia "memilih" untuk melakukannya, sedangkan Allah memberikan kekuasaan untuk melaksanakan perbuatan tersebut.


Contoh: Ketika seseorang melakukan amal kebaikan, pilihannya adalah kehendak manusia, tetapi kekuasaan untuk melaksanakan amal itu berasal dari Allah.





---


3. Hubungan Qudrah Allah dengan Takdir


Asy’ariyah:


Qudrah Allah menentukan segala sesuatu, baik dalam aspek takdir (qada dan qadar) maupun dalam hal yang terjadi di dunia.


Semua yang terjadi, termasuk perbuatan manusia, adalah bagian dari kehendak dan qudrah Allah yang telah ditetapkan sejak azali.


Dalam hal ini, Asy’ariyah lebih cenderung menekankan kekuasaan mutlak Allah tanpa terlalu memperhatikan bagaimana qudrah Allah berinteraksi dengan kebebasan manusia.



Maturidiyah:


Qudrah Allah menentukan segala sesuatu, tetapi manusia diberi ruang untuk memilih dalam batas tertentu.


Takdir (qada dan qadar) tetap berada di bawah kendali qudrah Allah, tetapi tidak menghilangkan tanggung jawab manusia atas perbuatannya.


Dalam pandangan Maturidiyah, ini menunjukkan keadilan dan kebijaksanaan Allah dalam memberikan manusia kebebasan terbatas.




---


4. Hikmah dalam Qudrah Allah


Asy’ariyah:


Menekankan bahwa qudrah Allah tidak terikat oleh hikmah atau keadilan yang dipahami manusia. Allah dapat melakukan apa saja sesuai kehendak-Nya, tanpa harus mengikuti prinsip yang dianggap manusia sebagai hikmah.


Kebijaksanaan Allah tidak selalu dapat dipahami oleh akal manusia.



Maturidiyah:


Qudrah Allah selalu selaras dengan hikmah dan keadilan-Nya. Allah tidak akan melakukan sesuatu yang bertentangan dengan sifat-sifat tersebut.


Misalnya, Allah tidak akan menghukum orang yang taat atau mengabaikan janji-Nya kepada hamba-Nya, karena hal itu bertentangan dengan keadilan-Nya.




---


Kesimpulan


Keduanya sepakat bahwa Allah memiliki qudrah yang mutlak, tetapi Maturidiyah lebih menekankan keseimbangan antara kekuasaan Allah dan kebebasan manusia, sedangkan Asy’ariyah lebih menitikberatkan pada kekuasaan Allah yang mutlak dan tanpa batas.


Perbezaan mendasar Assya'irah dan Maturidiah

 Asy'ariyah dan Maturidiyah adalah dua mazhab utama dalam teologi Islam Sunni yang memiliki banyak kesamaan, tetapi juga terdapat perbedaan mendasar di beberapa aspek. Kedua aliran ini bertujuan untuk mempertahankan aqidah Islam dan menjembatani pemahaman rasional dengan wahyu, tetapi pendekatan dan rincian pandangan mereka berbeda. Berikut adalah perbedaan mendasar antara Asy’ariyah dan Maturidiyah:



---


1. Sumber Pengetahuan


Asy’ariyah:


Menekankan bahwa akal tidak bisa berdiri sendiri dalam mengenal Tuhan. Wahyu adalah sumber utama untuk mengenal Allah, sedangkan akal hanya berfungsi sebagai pelengkap.


Akal tidak dapat menentukan baik dan buruk secara independen.



Maturidiyah:


Memberikan kedudukan yang lebih tinggi kepada akal dibandingkan Asy’ariyah. Akal mampu mengenal Tuhan dan memahami sebagian kewajiban moral seperti baik dan buruk, bahkan sebelum datangnya wahyu.


Namun, akal tetap memerlukan wahyu untuk memahami detail syariat dan konsep-konsep agama yang lebih kompleks.





---


2. Konsep Iman


Asy’ariyah:


Iman adalah pembenaran dalam hati dan pengakuan dengan lisan. Amal perbuatan bukan bagian dari definisi iman, tetapi ia memengaruhi kesempurnaan iman.


Iman tidak bertambah atau berkurang secara hakikat, tetapi bisa bertambah atau berkurang dalam manifestasinya.



Maturidiyah:


Iman adalah pembenaran dalam hati, pengakuan dengan lisan, dan didukung oleh amal. Namun, amal tidak mutlak menjadi syarat sah iman.


Maturidiyah lebih tegas dalam menyatakan bahwa iman bisa bertambah dan berkurang baik secara hakikat maupun manifestasi.





---


3. Sifat-Sifat Allah


Asy’ariyah:


Menegaskan adanya sifat-sifat Allah, seperti tangan, wajah, dan lain-lain, tetapi sering menggunakan pendekatan ta’wil (interpretasi metaforis) untuk menjelaskan sifat-sifat tersebut, demi mencegah antropomorfisme.


Misalnya, "tangan Allah" ditafsirkan sebagai kekuasaan atau rahmat.



Maturidiyah:


Sama-sama mengakui sifat-sifat Allah, tetapi lebih cenderung pada pendekatan tafwidh (menyerahkan makna hakiki sifat kepada Allah tanpa menafsirkannya).


Mereka lebih berhati-hati dalam menggunakan ta’wil, kecuali jika diperlukan untuk menghindari pemahaman yang salah.





---


4. Perbuatan Manusia (Qadar)


Asy’ariyah:


Menggunakan konsep kasb (usaha), di mana manusia memiliki peran dalam memilih perbuatannya, tetapi Allah yang menciptakan perbuatan tersebut.


Manusia memiliki kehendak, tetapi kehendak itu diciptakan oleh Allah.



Maturidiyah:


Memiliki pandangan yang mirip dengan Asy’ariyah, tetapi lebih menekankan pada kebebasan kehendak manusia dalam batasan yang ditentukan Allah.


Manusia bertanggung jawab atas perbuatannya secara penuh karena mereka dianggap benar-benar memiliki kehendak bebas, meskipun kekuasaan untuk melaksanakan kehendak itu berasal dari Allah.





---


5. Penggunaan Akal dalam Aqidah


Asy’ariyah:


Lebih berhati-hati terhadap penggunaan akal. Mereka lebih menekankan pentingnya wahyu sebagai sumber utama aqidah, sementara akal hanya sebagai alat untuk memahami wahyu.


Asy’ariyah sering lebih konservatif dalam hal rasionalisasi aqidah.



Maturidiyah:


Memberikan ruang lebih besar bagi akal. Mereka percaya bahwa akal dapat memahami sebagian besar prinsip aqidah bahkan tanpa wahyu, seperti keberadaan Tuhan dan kewajiban bersyukur kepada-Nya.


Maturidiyah lebih terbuka terhadap rasionalisasi aqidah dibandingkan Asy’ariyah.





---


6. Baik dan Buruk


Asy’ariyah:


Baik dan buruk adalah apa yang ditentukan oleh wahyu. Akal tidak memiliki kemampuan untuk menentukan baik dan buruk secara independen.


Sesuatu yang baik menurut akal bisa saja tidak dianggap baik dalam syariat, dan sebaliknya.



Maturidiyah:


Baik dan buruk dapat diketahui oleh akal. Misalnya, akal dapat memahami bahwa keadilan itu baik dan kezaliman itu buruk, meskipun wahyu belum datang.


Wahyu berfungsi untuk memperjelas apa yang tidak bisa dijangkau akal.





---


7. Janji dan Ancaman Allah


Asy’ariyah:


Menekankan bahwa Allah tidak wajib melaksanakan janji-Nya atau menghukum sesuai ancaman-Nya. Semua itu terjadi semata-mata karena kehendak dan rahmat-Nya.


Contoh: Allah dapat mengampuni dosa tanpa pertobatan jika Dia berkehendak.



Maturidiyah:


Berpendapat bahwa Allah pasti melaksanakan janji-Nya, seperti memberikan pahala kepada orang yang taat, karena keadilan-Nya. Namun, Allah tidak wajib melaksanakan ancaman-Nya (seperti menghukum), karena hal itu termasuk rahmat-Nya.





---


8. Status Orang Beriman yang Berdosa Besar


Asy’ariyah:


Orang yang melakukan dosa besar tetap dianggap sebagai Muslim, tetapi imannya tidak sempurna.


Hukumannya tergantung pada kehendak Allah: bisa diampuni atau dihukum sesuai dosa-dosanya.



Maturidiyah:


Pandangan serupa dengan Asy’ariyah, tetapi lebih menekankan bahwa orang yang berdosa besar tetap beriman secara substansi, karena amal tidak membatalkan iman.





---


Kesimpulan Utama


Asy’ariyah cenderung lebih tekstualis dan mengutamakan wahyu di atas akal, dengan lebih berhati-hati dalam memberikan ruang bagi rasionalisasi.


Maturidiyah lebih rasionalis, memberikan kedudukan yang lebih tinggi kepada akal, terutama dalam hal mengenal Tuhan dan menentukan baik dan buruk.



Meskipun terdapat perbedaan-perbedaan ini, kedua aliran ini tetap bagian dari Islam Sunni dan sepakat dalam banyak prinsip dasar aqidah, seperti keyakinan terhadap sifat-sifat Allah, kekuasaan Allah, dan pentingnya wahyu sebagai panduan hidup.